Rizal Ramli bukanlah orang yang terlahir dengan hak istimewa, dia merebutnya seperti kerbau yang keras kepala dan menungganginya ke dalam lorong kekuasaan.
Seorang aktivis mahasiswa yang menukar yel-yel protes dengan rumus ekonomi, hidupnya adalah kaleidoskop pidato berapi-api, reformasi berani, dan penentangan tanpa penyesalan.
Bahkan kematian, pada pagi hari tanggal 2 Januari, tidak bisa membungkam gema pernyataan kerasnya.
Bayangkan seorang Rizal muda, rambutnya tertiup angin dari demonstrasi, tinjunya mengepal erat pamflet yang menjanjikan revolusi.
Ini bukan hanya idealisme masa muda; itu adalah seruan perang melawan sistem yang tidak adil, sistem yang ia coba bongkar dari dalam.
Sebagai Menteri Keuangan, ia memotong birokrasi dengan presisi seorang ahli bedah, mendapatkan pujian dari para ekonom dan kemarahan vested interest.
Masa jabatannya yang singkat adalah hujan meteor reformasi, meninggalkan jejak kartel yang hancur dan birokrat yang bingung.
Tetapi Rizal tidak puas hanya dengan memutar tombol. Dia ingin menulis ulang seluruh manual.
Sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, ia menjadi Neptunus sendiri, menjinakkan lautan birokrasi yang bergolak.
Ia memimpikan Indonesia di mana ikan, bukan dokumen, mengalir bebas, di mana masyarakat lokal, bukan korporasi, menuai hasil panen laut. Visinya berani, metodenya tidak lazim, dan musuhnya banyak.
Dia bukan politisi yang berjingkat-jingkat di sekitar ranjau darat; dia menari di atasnya, tango pembangkangan.
Dia berdebat dengan presiden, bergulat dengan taipan, dan menantang dogma dengan keberanian seorang punk rocker di simfoni.
Pernyataannya adalah granat yang dilemparkan ke kolam politik Indonesia yang stagnan, setiap ledakan mengaduk air, memaksa kebenaran yang tidak nyaman ke permukaan.
Namun, tidak semua orang menghargai kekacauan itu. Beberapa mencapnya sebagai pembakar api populis, yang lain Cassandra yang sok benar.
Ketegasannya sering kali mengalahkan kecerdasannya, retorikanya yang berapi-api mengaburkan keinginannya yang tulus untuk Indonesia yang lebih baik.
Dia adalah paradoks, kontradiksi yang berjalan: teknokrat dengan jiwa penyair, revolusioner dalam setelan jas.
Dan sekarang, diam. Suara yang menggelegar dari podium dan berderak melalui gelombang radio terdiam.
Tapi warisan Rizal Ramli jauh dari bisu. Itu berbisik dalam gumaman ketidakpuasan, bergema dalam tuntutan keadilan, dan menggema di hati mereka yang berani memimpikan Indonesia yang berbeda.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.