Usulan penyertaan ikan kaleng dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) memunculkan diskusi luas di tengah masyarakat.
Gagasan ini diinisiasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ingin memanfaatkan produk olahan ikan sebagai sumber protein alternatif dalam program tersebut.
Ikan Kaleng dalam Program MBG
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Budi Sulistiyo, menyatakan bahwa produk olahan ikan, termasuk ikan kaleng, telah memenuhi berbagai standar kualitas dan kelayakan.
KKP berencana mengajukan usulan ini ke Badan Gizi Nasional (BGN) untuk dijadikan opsi protein dalam program MBG.
“Kami selalu komunikasikan bahwa produk olahan ini sudah memenuhi berbagai syarat, sehingga nanti BGN yang akan memilih mana yang cocok untuk diambil,” jelas Budi dalam konferensi di Jakarta pada Senin (11/11/2024).
Budi juga menegaskan bahwa pihaknya telah menyusun daftar produk olahan ikan yang dapat mendukung keberagaman menu MBG, terutama untuk masyarakat di wilayah dengan akses terbatas terhadap ikan segar.
Perspektif Ahli Gizi: Keunggulan dan Risiko
Ahli gizi komunitas, Tan Shot Yen, memberikan pandangan kritis terkait usulan ini.
Menurutnya, meskipun ikan kaleng dapat menjadi alternatif sumber protein, proses pengolahannya yang melibatkan tambahan garam dan minyak harus diperhatikan.
“Kandungan garam berlebih dalam ikan kaleng bisa berdampak negatif pada nilai gizinya,” kata Tan.
Ia juga menyoroti risiko botulinum toxin atau racun botulinum, yang dapat terbentuk dalam produk makanan kaleng jika proses pengemasan atau penyimpanan tidak dilakukan dengan benar.
Risiko Keracunan Botulinum
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), botulinum toxin merupakan zat berbahaya yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium botulinum.
Racun ini dapat memicu botulisme, yaitu keracunan makanan serius yang berpotensi fatal.
Spora bakteri ini mampu bertahan di lingkungan dengan oksigen rendah, seperti makanan kaleng atau makanan yang diawetkan secara tidak tepat.
Proses penyimpanan pada suhu tinggi atau pH yang tidak sesuai juga menjadi faktor yang memicu pertumbuhan bakteri dan produksi racun.
“Risiko botulinum toxin harus dipertimbangkan dengan serius. Makanan kaleng harus memenuhi standar keamanan tinggi, baik dari segi pengemasan maupun penyimpanan,” tambah Tan.
Pentingnya Proses Keamanan Pangan
Botulisme sering terjadi pada makanan yang tidak diawetkan dengan benar, termasuk sayuran asam rendah seperti bayam atau kacang hijau, produk ikan seperti tuna kalengan, hingga daging olahan seperti ham dan sosis.
WHO menjelaskan bahwa bakteri Clostridium botulinum tidak akan tumbuh pada makanan yang bersifat asam dengan pH di bawah 4,6.
Kombinasi pH rendah, kandungan garam, serta suhu penyimpanan rendah menjadi kunci pencegahan pertumbuhan bakteri dan produksi racunnya.
Harapan untuk Program MBG
Program Makan Bergizi Gratis dirancang untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap makanan bergizi, terutama di wilayah terpencil.
Namun, jika ikan kaleng akan dimasukkan ke dalam menu, pemerintah perlu memastikan:
- Keamanan pangan: Pengawasan ketat terhadap proses pengolahan dan pengemasan ikan kaleng.
- Keseimbangan nutrisi: Memastikan kandungan garam, minyak, dan bahan tambahan lainnya sesuai dengan kebutuhan gizi.
- Edukasi masyarakat: Mengedukasi konsumen tentang cara memilih dan mengonsumsi ikan kaleng dengan aman.
Dengan perencanaan yang matang, ikan kaleng dapat menjadi sumber protein yang praktis, terjangkau, dan bergizi bagi masyarakat.
Namun, perlindungan terhadap risiko kesehatan harus menjadi prioritas utama dalam implementasinya.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.