Reportasee.com – Hari Raya Galungan adalah hari yang sangat penting bagi Umat Hindu. Umat hindu memperingati Hari Raya Galungan ini setiap 6 bulan sekali. Prosesi hingga sejarah dari hari raya galungan ini sangat berdekatan dengan masyarakat hindu di bali. Perayaan dan sejarahnya juga masih terdapat sangkut paut dengan masyarakat bali.
Galungan yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali sesuai dengan penanggalan bali. Pada kalender Bali, setiap satu bulannya terdiri dari 35 hari dan hari Raya Galungan akan selalu jatuh pada rabu Kliwon. Umat hindu menyebutkan hari itu sebagai hari Rabu Kliwon dengan Wuku Dungulan atau Budha Kliwon Dungulan. Istilah ini mengandung arti hari kemenangan atas kejahatan atau umat hindu menyebutnya dengan Dharma Adharma.
Seorang sejarawan mengungkapkan bahwa Galungan menjadi tanda awal dari upacara keagamaan yang paling penting dalam berbagai upacara umat hindu. Masyarakat Hindu di Bali mempercayai bahwa pada hari itu Roh-roh para leluhur akan pula ke tiap-tiap rumahnya. Oleh karena itu masyarakat hindu wajib menyambut dengan doa dan persembahan.
Dalam perayaan Hari Raya Galungan ini terdapat beberapa rangkaian prosesi ritual yang mewarnai perayaan Anugerah Galungan. Masyarakat Bali yang berkeyakinan Hindu akan selalu khusuk dan antusias dalam menyambut perayaan upacara ini. Ternyata Galungan bukan hanya menjadi Upacara yang sakral dan bermakna bagi warga Bali. Upacara ini ternyata juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang tengah berwisata di Pulau Bali.
Banyak wisatawan baik dari manca negara maupun wisatawan domestik yang berkunjung ke pulau bali dan banyak yang tertarik untuk menyaksikan pelaksanaan upacara Galungan ini. Upacara Galungan merupakan uparacara yang paling penting, oleh karena itu anda pasti penasaran dengan bagaimana Filosofi, sejarah, hingga Mitologi dari hari raya galungan ini.
Mitologi Upacara Hari Raya Galungan
Sebelum perayaan galungan ini ada, terdapat sebuah kisah yang berbau mitologi yang melatar belakangi perayaan upacara galungan. I Gede Marayana menulis dalam bukunya yang terbit pada tahun 2005 memaparkan adanya mitos ini.
I Gede menuliskan bahwa dahulu di Pulau Bali ini terdapat seorang Raja Angkara Murka yang memiliki nama Mayadewana. Raja angkara murka ini memiliki kesaktian yang luar biasa, ia kerap kali mendatangi kejahatan atau adharma. Dengan kesaktiannya ini pada akhirnya Raja Mayadewana bukan hanya menguasai Pulau Bali, akan tetapi juga menguasai Pula Lombok, Tanah bugis Sulawesi, hingga Blambangan Banyiwagi.
Dengan kesaktian yang ia miliki ini, muncul rasa sombong dalam diri Raja Mayadewana. Bahkan ia sampai memerintahkan rakyatnya untuk menyembahnya dan ia secara tegas melarang masyarakat untuk menyembah dewa-dewa lain. Bukan hanya itu pada masa pemerintahannya di Bali tak sedikit tempat peribadatan Pura yang ia hancurkan.
Perilaku dari Raja Mayadewana ini sangat keterlaluan hingga membuat masyarakat bali resah karenanya. Pada akhirnya seorang pemuka agama bernama Mpu Sangkul seorang pemangku Agung Pura besakih. Ia akhirnya bersemedi untuk memohon petunjuk dari yang Maha Puasa.
Dalam melaksanakan Semedinya Mpu Sangkul Putih akhirnya mendapatkan sebuah Ilham. Ia mendapatkan petunjuk agar pergi menuju pulau Jawa Dwipa atau India untuk mendapatkan bantuan. Kemudan Mpu Sangkul benar-benar berlayar menuju India dan benar ia mendapatkan sebuah batuan dari India, bantuan yang ia peroleh dari seorang Dewa Indra yakni dewa yang berkuasa atas Cuaca.
Setelah ia mendapatkan bantuan akhirnya, terjadilah pertempuran hebat andara Mayadewa dengan pasukan milik Dewa Indra. Dalam pertempuran ini, pasukan milik Raja Mayadewana. Meskipun Raja Mayadewana melakukan berbagai tindakan licik, namun ia tetap saja kalah. Mitologi inilah yang kemudian menjadi dasar adanya Hari Raya Galungan, yang mana memiliki arti kebaikan yang mengalahkan kejahatan atau Dharma Adharma.
Makna dan Filosofi Hari Raya Galungan
Filosofi dari Hari Raya Galungan ini tidak akan jauh dari Motologi yang mendasari Hari raya galungan yakni sebelumnya terdapat Raja Angkara Murka yang terkalahkan oleh Dewa Indra. Mejelis Hindu orang mengurus seluruh kegiatan umat hindu menyatakan bahwa Hari Raya Galungan ini sebenarnya mengajarkan kepada manusia untuk mengendalikan nafsu dalam diri yang dapat menganggu ketentraman kehidupan dan batin.
Masyarakat Hindu menyakini bahwa nafsu terdiri dari 3 jenis, yakni Kala Amangkurat yang berarti perasaan ingin berkuasa yang dapat berujung pada sifat yang serakah, ingin memerintah, dan mempertahankan kekuasaan meskipun denga cara-cara yang menyimpang. Nafsu kedua, yakni Kala Dungulan yang berarti perasaan ingin merebut seluruh hal milik orang lain dan ketiga yakni Nafsu yang berarti Perasaan ingin menang dengan menghalalkan segala cara.
Oleh karenanya Galungan ini bermaknai sebagai ungkapan rasa Syukur umat hindu atas segala nikmat yang diberikan oleh yang Maha Kuasa. Selain itu Upacara ini juga sebagai wujud permohonan agar dijauhkan dari ketiga hawa nafsu yang merusak tadi.
Sejarah Perayaan Galungan
Setelah memperlajari adanya Filosofi dan Mitologi dari adanya hari raya galungan maka terdapat juga sejarah perayaan galungan atau upacara rasa syukur. Perayaan upacara Galungan ini pertama kali terlaksana pada tanggal 15 di tahun Saka 804 atau 882 Masehi.
Sebelumnya Perayaan Galungan ini sempat terhenti selama beberapa tahun, akhirnya terdapat beberapa Raja yang memerintah di Pulau Bali yang wafat dalam usia yang relatif muda. Bukan hanya itu, Pulau Bali juga terus menerus mendapatkan bencana hingga pada akhirnya Raja Sri Jayakasunu mengadakan kembali upacara Anugerah Galungan.
Sebelum pada akhirnya Raja sri Jayakusuma ini memutuskan untuk membuat kembali perayaan Galungan, Ia sempat merasa resah dan heran mengenai kejadian yang menimpa pulau Bali yang mana Raja-Raja Bali banyak yang meninggal di Usia muda dan Pulau bali sering mendapatkan Banyak Bencana.
Akibat adanya peristiwa tersebut Raja Sri Jayakusuma pun bersemedi untuk memohon pentunjuk dari yang maha kuasa. Dalam persemedian yang ia lakukan ia mendapatkan banyak bisikan, pada bisikan tersebut ia memperoleh petunjuk mengapa raja-raja di Bali meninggal pada usia yang relatif muda dan banyak terjadi bencana di Pulau bali. Kematian para raja dan banyaknya bencana ini karena mereka melupakan tradisi penting yakni Anugerah Galungan.
Sejak saat itu Raja dan Masyrakat memperingati galungan sebagai hari ulang tahunnya Jagat Raya. Karenanya umat hindu pada saat perayaan Hari Galungan akan membuat Sesajen dan Menghaturkan sesajen sesuai dengan peruntukannya sebagai bentuk rasa Bakti, Rasa syukur, dan Kagum terhadap pemberian Jagad oleh yang maha kuasa.
Pada Hari Raya Galungan ini masyarakat mempercayai sangat baik untuk melakukan dana punia yang dapat berbentuk Material maupun jasa atau sebuah pengabdian. Sejatinya, dalam bentuk apapun setiap dana punia memiliki tujuan untuk membantu kesejahteraan umat. Dana Punia juga memiliki nilai yang sangat tinggi jika bersedia memberikan dengan tulus dan penuh dengan keikhlasan.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.