Pada Rabu, 11 Desember 2024, harga minyak mentah mengalami lonjakan tajam, dipicu oleh keputusan Uni Eropa yang menyetujui putaran ke-15 sanksi terhadap Rusia.
Sanksi ini berfokus pada armada bayangan yang selama ini digunakan Rusia untuk menghindari pembatasan harga minyak oleh negara-negara G7, yang diberlakukan sejak 2022.
Langkah tersebut dipandang sebagai ancaman langsung terhadap aliran pasokan minyak Rusia, yang dapat memperketat pasokan minyak mentah di pasar global.
Harga minyak mentah Brent tercatat naik US$ 1,33 atau 1,84%, menjadi US$ 73,52 per barel, sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat melonjak US$ 1,70 atau 2,48%, mencapai US$ 70,29 per barel.
Kenaikan harga ini mengikuti pengesahan paket sanksi baru oleh Duta Besar Uni Eropa yang menargetkan armada bayangan Rusia.
Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, menyambut baik adopsi sanksi tersebut melalui media sosial X, menyatakan bahwa sanksi ini bertujuan untuk lebih mengisolasi Rusia dari pasar energi global.
Armada bayangan tersebut memainkan peran penting dalam memungkinkan Rusia menghindari batasan harga US$ 60 per barel yang diterapkan oleh G7.
Dengan sanksi ini, Uni Eropa berharap dapat memotong akses Rusia terhadap pasar energi, yang dapat mempengaruhi stabilitas pasokan minyak dunia.
John Kilduff, mitra di Again Capital, menilai bahwa tindakan Uni Eropa ini memberi dukungan positif bagi pasar minyak, meskipun masih ada kekhawatiran terkait data permintaan yang tetap menjadi perhatian utama.
Namun, meskipun harga minyak naik, ada faktor lain yang membatasi lonjakan lebih lanjut.
Data dari Administrasi Informasi Energi (EIA) menunjukkan peningkatan stok bensin dan distilat yang lebih besar dari perkiraan di Amerika Serikat, yang memberi tekanan pada harga minyak mentah.
Selain itu, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga merevisi proyeksi pertumbuhan permintaan minyak untuk tahun 2024 dan 2025, dengan pemotongan terbesar dalam lima bulan terakhir.
OPEC mengungkapkan bahwa mereka menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan pasar minyak global menuju 2025.
Salah satu faktor utama yang memengaruhi keputusan OPEC adalah permintaan minyak yang lemah dari China, negara pengimpor minyak terbesar di dunia.
Meskipun demikian, optimisme tetap ada, terutama setelah pengumuman kebijakan moneter longgar yang dilakukan oleh China pada 9 Desember 2024, yang bertujuan untuk mendorong pemulihan ekonomi setelah tahun-tahun penuh tantangan.
Meskipun belum dapat dipastikan apakah kebijakan ini akan sepenuhnya mengangkat pertumbuhan ekonomi China pada 2025, para analis menganggapnya sebagai sinyal positif bagi pasar energi.
Pada bulan November, China mencatatkan kenaikan impor minyak mentah lebih dari 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang menjadi peningkatan pertama dalam tujuh bulan terakhir.
Meski demikian, ketergantungan pada impor minyak tetap menjadi tantangan besar bagi pasar energi global.
Sementara itu, pemerintah Rusia memberikan komentar terkait potensi pengencangan sanksi terhadap sektor minyak mereka.
Kremlin menganggap langkah AS tersebut sebagai bagian dari upaya untuk meninggalkan warisan hubungan yang semakin sulit antara AS dan Rusia.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, dalam pernyataannya pada Rabu, menyebutkan bahwa pemerintah AS terus mencari cara kreatif untuk mengurangi pendapatan minyak Rusia.
Ia juga menekankan pentingnya mengurangi permintaan global terhadap minyak sebagai bagian dari strategi untuk membuka peluang lebih banyak sanksi terhadap Moskow.
Secara keseluruhan, meskipun pasar minyak mengalami lonjakan harga, ketidakpastian terkait permintaan global dan kebijakan ekonomi di negara-negara pengimpor utama, seperti China, serta dampak dari sanksi internasional terhadap Rusia, tetap menjadi faktor yang menentukan arah pasar energi dalam beberapa bulan mendatang.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.