Harga minyak mentah global mengalami kenaikan signifikan pada awal pekan ini, didorong oleh kombinasi ketidakstabilan geopolitik di Timur Tengah dan langkah kebijakan ekonomi dari China.
Pada Senin (9/12/2024), harga minyak Brent naik 1,4%, mencapai USD 72,14 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencatat lonjakan 1,7%, menjadi USD 68,37 per barel.
Kenaikan ini dipengaruhi oleh dua faktor utama: perubahan politik dramatis di Suriah dan indikasi pelonggaran moneter pertama oleh China sejak 2010.
Gejolak Politik di Suriah: Pemicu Ketidakstabilan di Timur Tengah
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali meningkat setelah pemberontak Suriah berhasil menggulingkan Presiden Bashar al-Assad pada Minggu (8/12/2024).
Peristiwa ini mengakhiri lebih dari 50 tahun kekuasaan keluarga Assad dan memicu kekhawatiran akan ketidakstabilan yang lebih luas di kawasan.
Menurut Jorge Leon, Kepala Analisis Geopolitik di Rystad Energy, perubahan rezim ini berpotensi menambah premi risiko geopolitik dalam harga minyak selama beberapa bulan mendatang.
Meskipun Suriah bukan produsen minyak utama, posisinya yang strategis di kawasan dan hubungannya erat dengan Rusia dan Iran membuat dampaknya terasa pada pasar minyak global.
Tanda-tanda awal gangguan sudah muncul, seperti insiden kapal tanker minyak Iran yang terpaksa mengubah rute di Laut Merah.
Situasi ini menambah ketegangan atas jalur suplai minyak di kawasan tersebut.
China dan Kebijakan Moneter: Pengaruh pada Permintaan Global
Di sisi lain, China, sebagai importir minyak terbesar dunia, memberikan sinyal pelonggaran moneter untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade.
Berdasarkan laporan media resmi Xinhua, pemerintah China berencana mengambil langkah “tidak konvensional” untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti meningkatkan permintaan domestik dan konsumsi.
Ekonomi China saat ini tengah melambat akibat krisis di sektor properti, yang melemahkan kepercayaan pasar dan konsumsi masyarakat.
Pelonggaran moneter yang diharapkan berupa pemangkasan suku bunga, peningkatan pasokan uang, atau stimulus fiskal diperkirakan akan menghidupkan kembali aktivitas ekonomi negara tersebut.
Phil Flynn, Analis Senior di Price Futures Group, memprediksi kebijakan ini dapat memicu lonjakan harga komoditas global, termasuk minyak.
Namun, kekhawatiran akan lemahnya permintaan di Asia tetap ada, terbukti dari keputusan Arab Saudi melalui Saudi Aramco yang menurunkan harga minyak untuk Januari 2025 ke level terendah sejak 2021.
Dinamika Lain: Fokus pada Inflasi AS dan Kebijakan The Fed
Selain faktor geopolitik dan kebijakan China, pasar minyak juga tengah mencermati data inflasi AS yang akan dirilis pekan ini.
Data ini dapat memengaruhi keputusan Federal Reserve (The Fed) dalam memangkas suku bunga pada pertemuan bulan Desember.
Pemangkasan suku bunga dapat menurunkan biaya pinjaman dan meningkatkan aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya mendorong permintaan minyak.
Namun, keputusan OPEC+ pekan lalu untuk menunda peningkatan produksi minyak hingga April menunjukkan adanya kehati-hatian dalam merespons dinamika pasar yang kompleks ini.
Dengan ketidakpastian geopolitik dan perubahan kebijakan ekonomi yang besar, pasar minyak global diperkirakan akan tetap fluktuatif dalam beberapa bulan mendatang.
Situasi ini menuntut pengawasan ketat dari pelaku pasar untuk mengantisipasi potensi dampak yang lebih luas.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.