Pada Rabu, 27 November 2024, Hizbullah dan Israel sepakat untuk melaksanakan gencatan senjata setelah serangkaian pertempuran sengit di perbatasan Lebanon.
Namun, meskipun kesepakatan ini tercapai, serangan yang dilancarkan oleh kelompok Houthi dari Yaman ke Israel tetap berlanjut tanpa ada tanda-tanda penghentian.
Pemimpin Houthi, Abdulmalik al-Houthi, dengan tegas menyatakan bahwa mereka akan terus mendukung perjuangan Palestina dengan menggunakan rudal dan drone untuk menyerang wilayah Israel.
Dalam pernyataannya yang disiarkan oleh Al-Masirah pada 29 November, Al-Houthi menegaskan bahwa operasi ini akan terus berlanjut dengan tujuan menekan musuh Israel, yang dia sebut sebagai musuh rakyat Palestina.
Serangan terbaru Houthi menargetkan kota-kota Israel seperti Ashqelon dan Eliat, serta pangkalan udara Nevatim di Negev, yang menunjukkan tidak ada penurunan intensitas serangan dari pihak Houthi.
Kelompok yang beraliansi dengan Iran ini juga telah memperburuk ketegangan di Laut Merah dan Teluk Aden dengan menyerang kapal-kapal yang melintas di jalur perairan strategis tersebut, mengganggu perdagangan internasional yang sangat vital.
Al-Houthi mengungkapkan bahwa serangan ini adalah bentuk dukungan langsung kepada Palestina dan menyatakan bahwa militer dan masyarakat Yaman harus terus bersatu dalam melawan Israel.
Sementara itu, meskipun gencatan senjata telah disepakati antara Hizbullah dan Israel, pelanggaran tetap terjadi dari kedua belah pihak.
Militer Israel melaporkan bahwa mereka telah menyerang infrastruktur militer Hizbullah yang terletak di perbatasan Suriah-Lebanon.
Serangan ini dilakukan setelah kesepakatan gencatan senjata dimulai, dengan tuduhan bahwa Hizbullah terlibat dalam penyelundupan senjata dari Suriah ke Lebanon.
Militer Israel juga mengklaim bahwa mereka berhasil menyita senjata yang disembunyikan oleh Hizbullah di sebuah masjid di Lebanon selatan.
Gencatan senjata yang dimulai pada Rabu pagi ini bertujuan untuk mengakhiri saling serang antara kedua pihak, dengan penempatan tentara Lebanon dan pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon selatan.
Tentara Israel juga dijadwalkan untuk menarik diri selama 60 hari ke depan.
Di sisi Hizbullah, pemimpin Naim Qassem menyambut gencatan senjata ini dengan klaim “kemenangan besar” atas Israel, bahkan lebih besar dari kemenangan yang diperoleh dalam pertempuran Juli 2006.
Qassem menyatakan bahwa Hizbullah telah berhasil menghindari kehancuran dan terus mempertahankan posisi mereka dalam perlawanan terhadap Israel.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menanggapi ancaman dengan keras.
Dalam wawancara dengan televisi Israel pada 29 November, Netanyahu menegaskan bahwa Israel akan menegakkan gencatan senjata dengan tegas, namun ia juga memperingatkan Hizbullah bahwa jika terjadi pelanggaran besar, Israel tidak akan ragu untuk melancarkan serangan militer lebih intensif.
Netanyahu menginstruksikan Angkatan Bersenjata Israel (IDF) untuk siap menghadapi kemungkinan perang yang lebih besar jika gencatan senjata dilanggar secara serius.
Meskipun gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah telah diterima, ketegangan regional tetap tinggi dengan serangan terus berlanjut dari kelompok Houthi, yang menunjukkan bahwa konflik di Timur Tengah tidak mudah mereda dan tetap penuh dengan ancaman dari berbagai pihak yang terlibat.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.