Negara-negara Arab sedang mempersiapkan langkah strategis untuk mencegah terulangnya perang saudara di Suriah setelah rezim Bashar al-Assad tumbang.
Qatar, yang menjadi tuan rumah pertemuan pemimpin-pemimpin Arab di Doha, menegaskan pentingnya dialog inklusif guna menciptakan stabilitas di negara yang telah dilanda konflik selama lebih dari satu dekade.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari, menyatakan bahwa situasi di Suriah kini berada pada titik kritis. “Kami bersyukur karena pertempuran yang terjadi sebelum penggulingan Assad sangat terbatas. Hal ini memungkinkan aktor-aktor internasional untuk terlibat sebelum konflik meluas,” ujarnya, seperti dikutip The Guardian pada Senin (9/12/2024).
Peran Qatar dan Turki dalam Transisi Suriah
Qatar, meski tidak mengakui Assad selama konflik berlangsung, telah mendukung kelompok oposisi Suriah dan berpotensi memainkan peran penting dalam mediasi terkait masa depan pangkalan militer Rusia serta hubungan antara Kurdi Suriah dan Turki.
Turki, sebagai pendukung utama oposisi Suriah, juga menjadi aktor kunci dalam masa depan Suriah.
Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, menekankan perlunya pemerintahan baru yang inklusif dan stabil. “Tidak ada kelompok atau sekte yang boleh merasa dikucilkan di masa depan Suriah. Prinsip inklusivitas harus dijaga,” katanya.
Turki, yang menampung lebih dari 2 juta pengungsi Suriah, menghadapi tantangan besar terkait potensi konflik antara pasukan yang didukungnya dan Kurdi Suriah yang mendapat dukungan Amerika Serikat.
Dampak Jatuhnya Assad terhadap Rusia dan Iran
Kejatuhan Assad memberikan pukulan telak bagi Rusia dan Iran, dua sekutu utama rezim tersebut.
Rusia, yang memiliki pangkalan militer di Suriah, dan Iran, yang selama 14 tahun memberikan dukungan militer dan ideologis, kini menghadapi situasi yang semakin tidak menentu.
Strategi untuk Menghindari Kekacauan seperti di Irak
Para diplomat Arab berupaya menghindari kesalahan yang terjadi di Irak pada 2003, di mana banyak pejabat senior diberhentikan sehingga menciptakan kekosongan kekuasaan.
Keputusan untuk mempertahankan perdana menteri Suriah, Mohammad Ghazi al-Jalali, dianggap sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas selama transisi.
Namun, tantangan tetap besar. Qatar menyatakan bahwa transisi di Suriah memiliki risiko tinggi untuk berujung pada kegagalan, mengingat kehadiran banyak militan di lapangan.
“Ada kecenderungan di wilayah ini bahwa berita baik sering berubah menjadi berita buruk. Kami ingin memastikan transisi menuju negara yang layak dan merepresentasikan pengorbanan rakyat Suriah,” ujar Ansari.
Harapan dan Kekhawatiran Masa Depan Suriah
Meski ada harapan untuk membangun kembali Suriah, kondisi lapangan tetap tidak menentu.
“Tidak seorang pun dapat memastikan siapa yang memiliki keunggulan militer saat ini, bahkan keadaan tentara nasional Suriah masih menjadi tanda tanya,” kata Ansari.
Dunia Arab kini bersatu untuk memastikan bahwa Suriah tidak menjadi negara gagal, meski jalan menuju perdamaian dan stabilitas masih panjang dan penuh tantangan.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.