Sidang praperadilan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, atau Tom Lembong, terkait kasus dugaan korupsi impor gula tahun 2015–2016, berlangsung dengan perdebatan sengit.
Salah satu isu utama yang diperdebatkan adalah perhitungan kerugian negara, yang menjadi dasar penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Kuasa Hukum: Kerugian Negara Harus Nyata, Bukan Potensial
Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menyoroti bahwa hingga saat ini belum ada audit investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang mengonfirmasi adanya kerugian negara dalam kasus ini.
Ia merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa kerugian negara harus berbentuk actual loss atau kerugian nyata, bukan sekadar potensi kerugian.
“Kerugian negara harus nyata dan dapat dihitung secara jelas. Kami sudah mengonfirmasi ini kepada sejumlah ahli,” ujar Ari dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Jumat (22/11).
Pendapat Ahli: Penetapan Tersangka Tidak Sah
Ahli hukum pidana sekaligus Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, juga mempertanyakan dasar hukum penetapan tersangka terhadap Tom Lembong.
Menurutnya, tanpa adanya hasil audit BPK yang menyatakan kerugian negara, maka dasar penetapan tersangka menjadi lemah.
“Audit BPK setiap akhir tahun anggaran tidak mencatat adanya kerugian negara, pelanggaran hukum, atau penyalahgunaan wewenang terkait impor gula. Jika kerugian negara tidak ada, maka tindak pidana juga tidak ada,” jelas Mudzakkir.
Ia menegaskan, tanpa adanya bukti kerugian negara, proses hukum terhadap Tom Lembong menjadi tidak sah. “Penetapan tersangka ini tidak berbasis pada adanya perbuatan pidana, sehingga harus dinyatakan tidak sah,” tegasnya.
Tanggapan Kejaksaan: Audit BPK Bukan Syarat Mutlak
Dalam sidang sebelumnya, Kamis (21/11), Tim Hukum Kejaksaan Agung yang diwakili Zulkipli, menyatakan bahwa audit BPK bukanlah syarat khusus untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Penetapan tersangka, menurutnya, cukup berdasarkan minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana dan keputusan MK Nomor 21 serta Perma Nomor 4 Tahun 2016.
“Kami bekerja sesuai ketentuan hukum. Dua alat bukti yang cukup sudah menjadi dasar untuk menetapkan tersangka,” ujar Zulkipli.
Kejaksaan juga menegaskan bahwa mereka telah menghadirkan lima ahli untuk mendukung argumen mereka, termasuk ahli hukum administrasi negara Ahmad Redi, ahli hukum pidana Agus Surono, serta ahli perhitungan kerugian negara Evenri Sihombing.
Dugaan Kerugian Rp400 Miliar
Kejaksaan Agung menuduh Tom Lembong bersama CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp400 miliar akibat kasus korupsi impor gula tahun 2015–2016.
Tom Lembong telah ditahan sejak 29 Oktober 2024 untuk proses hukum lebih lanjut.
Namun, Tom Lembong membantah semua tuduhan tersebut. Ia menilai bahwa tindakan yang ia lakukan semasa menjabat sebagai Menteri Perdagangan adalah ranah hukum administrasi negara, bukan tindak pidana. “Penetapan tersangka dan penahanan saya tidak sah dan bertentangan dengan KUHAP,” ujar Tom.
Upaya Hukum Tom Lembong
Melalui sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tom Lembong menantang legalitas prosedur yang dilakukan Kejaksaan Agung.
Ia meminta agar penetapan tersangka dan penahanannya dibatalkan.
Sidang ini menjadi sorotan publik karena menyangkut isu penting tentang batasan antara ranah hukum administrasi negara dan tindak pidana korupsi.
Perkembangan kasus ini akan menjadi penentu dalam proses hukum selanjutnya.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.