Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) Konvensi PBB Melawan Penggurunan (UNCCD) yang diadakan di Riyadh, Arab Saudi, berakhir tanpa tercapainya kesepakatan mengenai protokol kekeringan.
Meskipun perundingan telah berlangsung sejak 2 Desember 2024 dan molor hingga Sabtu, 14 Desember 2024, para delegasi dari 196 negara serta Uni Eropa gagal mencapai konsensus mengenai isu krusial ini.
Pada sesi pleno terakhir, Sekretaris Eksekutif UNCCD, Ibrahim Thiaw, menekankan bahwa dunia sangat mengharapkan para negosiator dapat mengambil langkah tegas untuk mengatasi bencana lingkungan yang semakin meluas, terutama kekeringan.
“Kita menghadapi salah satu bencana lingkungan terbesar, dan kita membutuhkan keputusan berani untuk membalikkan keadaan,” ujarnya.
Meskipun demikian, Thiaw mengakui bahwa perundingan memerlukan lebih banyak waktu untuk menyepakati langkah terbaik di masa depan.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan, para pihak peratifikasi UNCCD menyatakan keinginan untuk melanjutkan pembahasan terkait kekeringan pada COP17 yang akan diadakan di Mongolia pada tahun 2026.
Kegagalan di Riyadh ini menambah daftar tantangan dalam perundingan internasional yang telah terjadi sepanjang tahun ini, termasuk kegagalan mencapai kesepakatan dalam COP16 Konvensi PBB Keanekaragaman Hayati (CBD) di Kolombia, pembahasan polusi plastik di Korea Selatan, serta kesepakatan keuangan iklim dalam COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan.
Tom Mitchell, Direktur Eksekutif International Institute for Environment and Development, menyatakan bahwa hasil-hasil perundingan tersebut mencerminkan tantangan besar dalam negosiasi global saat ini.
“Geopolitik yang terpecah-pecah semakin menjadi hambatan, dan dalam proses COP, beberapa suara mulai terpinggirkan,” katanya.
Mitchell juga menambahkan bahwa isu-isu yang dibahas dalam pertemuan ini menjadi semakin mendesak seiring dengan meningkatnya krisis lingkungan.
Menurut laporan PBB, kekeringan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia telah mengakibatkan kerugian lebih dari 300 miliar dollar AS.
Lebih lanjut, diperkirakan bahwa pada 2050, kekeringan akan mempengaruhi sekitar 75 persen populasi dunia, menambah urgensi untuk menemukan solusi efektif.
Delegasi dari negara-negara Afrika menyuarakan kekecewaan mereka atas kegagalan perundingan ini. Salah satu delegasi yang enggan disebutkan namanya menyatakan, “Untuk pertama kalinya, saya melihat Afrika bersatu dengan tekad yang kuat mengenai protokol kekeringan.”
Sumber lain yang juga meminta anonimitas menyebutkan bahwa negara-negara maju cenderung enggan mengadopsi protokol yang mengikat, sementara kelompok adat juga mendesak untuk adanya protokol yang lebih jelas.
Praveena Sridhar dari Save Soil, sebuah kampanye global yang didukung oleh badan-badan PBB, mengungkapkan bahwa protokol kekeringan akan memberikan manfaat penting, termasuk sistem peringatan dini dan rencana respons yang lebih baik.
Meskipun tidak tercapainya kesepakatan di COP16 Riyadh, Sridhar menekankan bahwa ini tidak boleh menghentikan upaya untuk terus maju.
Sebelum dimulainya COP16, UNCCD telah menyoroti pentingnya pemulihan 1,5 miliar hektar lahan pada akhir dekade ini, dengan kebutuhan investasi global mencapai 2,6 triliun dollar AS.
Pada pekan pertama COP16, komitmen pendanaan senilai 12 miliar dollar AS telah diumumkan untuk mendukung upaya pengentasan kekeringan, pemulihan lahan, dan pengurangan degradasi.
Dari total dana tersebut, Forum Negara-negara Kawasan Arab (Arab Coordination Group) memberikan kontribusi terbesar dengan angka 10 miliar dollar AS, menunjukkan komitmen besar dari kawasan tersebut terhadap isu ini.
Meskipun COP16 berakhir tanpa kesepakatan protokol kekeringan, pertemuan ini tetap mencerminkan kebutuhan mendesak akan tindakan kolektif untuk menangani dampak kekeringan yang semakin memburuk di seluruh dunia.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.