Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas setelah Presiden terpilih AS, Donald Trump, mengumumkan rencananya untuk mengenakan tarif tambahan sebesar 10% terhadap barang-barang asal China.
Langkah ini sebagai respons terhadap masalah penyelundupan obat-obatan terlarang, terutama fentanil, dari China yang telah menyebabkan krisis overdosis di AS.
Trump menegaskan bahwa tarif tersebut akan berlaku hingga pemerintah China mengambil langkah nyata untuk menghentikan perdagangan fentanil yang masuk ke AS, yang pada 2021 saja telah merenggut lebih dari 70.000 nyawa akibat overdosis.
Menanggapi ancaman tersebut, juru bicara Kedutaan Besar China di AS, Liu Pengyu, mengingatkan bahwa perang dagang tidak akan membawa keuntungan bagi siapa pun.
Liu menegaskan bahwa kerja sama ekonomi dan perdagangan antara China dan AS seharusnya saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
“China percaya bahwa kerja sama ekonomi dan perdagangan China-AS saling menguntungkan,” kata Liu, seperti dikutip dari AFP pada Selasa (26/11/2024). “Tidak seorang pun akan memenangkan perang dagang,” tambahnya.
Liu juga mengklarifikasi bahwa China telah berupaya keras untuk memerangi perdagangan fentanil.
Menurutnya, China sudah bekerja sama dengan pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden untuk menanggulangi peredaran narkoba tersebut.
Bahkan, kedua negara telah mencapai kesepakatan dalam penegakan hukum terkait masalah narkotika ini.
“Pihak China telah memberi tahu pihak AS tentang kemajuan yang dibuat dalam operasi penegakan hukum terkait AS terhadap narkotika,” jelas Liu. “Semua ini membuktikan bahwa gagasan China dengan sengaja membiarkan prekursor fentanil mengalir ke Amerika Serikat sepenuhnya bertentangan dengan fakta dan kenyataan,” tambahnya.
Sanksi Baru Trump ke China dan Negara Tetangga
Pengumuman Trump tentang sanksi tarif baru terhadap China ini terjadi di platform media sosial Truth Social miliknya, yang semakin memperburuk hubungan kedua negara.
Tidak hanya China, Trump juga berencana untuk menjatuhkan tarif 25% pada semua barang yang berasal dari Meksiko dan Kanada segera setelah pelantikannya pada 20 Januari 2025.
“Baik Meksiko maupun Kanada memiliki hak dan kekuasaan mutlak untuk dengan mudah menyelesaikan masalah yang telah lama membara ini,” ujar Trump. “Sudah saatnya mereka membayar harga yang sangat mahal!” tambahnya.
Ancaman ini bukan kali pertama dilontarkan Trump, yang sejak masa kampanyenya sudah menyuarakan niatnya untuk mengenakan tarif lebih tinggi terhadap China dan negara tetangga, Meksiko dan Kanada.
Trump memandang tarif sebagai instrumen utama dalam visi ekonominya, yang bertujuan untuk melindungi lapangan kerja di AS, menumbuhkan ekonomi domestik, serta meningkatkan pendapatan pajak.
Trump sebelumnya juga menyatakan bahwa pajak ini “tidak akan menjadi beban bagi Anda, tetapi beban bagi negara lain.” Ini mencerminkan kebijakan proteksionisme yang diusung Trump selama masa jabatannya sebagai Presiden, yang hingga kini terus berlanjut meskipun ia akan meninggalkan jabatannya pada Januari 2025.
Perang Dagang yang Tak Berujung
Rencana ini mengindikasikan bahwa ketegangan perdagangan antara AS dan China yang sudah berlangsung sejak pemerintahan Trump pertama kali, akan terus berlanjut bahkan setelah ia meninggalkan Gedung Putih.
Bagi China, ancaman ini bukanlah hal baru, mengingat ketegangan antara kedua negara sudah berlangsung selama bertahun-tahun dengan berbagai isu, mulai dari tarif perdagangan, teknologi, hingga hak asasi manusia.
Peningkatan ketegangan ini juga menunjukkan bahwa meskipun pemerintahan baru di AS akan segera dimulai, kebijakan perdagangan yang keras terhadap China dan negara tetangga kemungkinan besar akan tetap menjadi bagian integral dari strategi ekonomi AS.
Dalam konteks ini, China tampaknya akan terus menanggapi ancaman ini dengan tegas, menegaskan bahwa perang dagang tidak akan menguntungkan kedua belah pihak.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.