Konsumsi makanan cepat saji atau junk food memang sering dipilih karena praktis dan mudah diakses. Namun, mengandalkan junk food dalam jangka panjang tanpa memperhatikan kebutuhan nutrisi bisa berisiko tinggi pada kesehatan.
Bahkan, kebiasaan ini dapat menyebabkan masalah serius seperti kebutaan permanen, sebagaimana dialami oleh seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun asal Massachusetts, Amerika Serikat.
Anak tersebut didiagnosis mengalami kebutaan akibat pola makan yang sangat terbatas pada burger, kentang goreng dengan saus ranch, donat, dan jus kemasan.
Berdasarkan laporan Daily Mail, kondisi anak itu diperparah oleh gangguan makan yang dikenal sebagai avoidant/restrictive food intake disorder (ARFID), yang memengaruhi sekitar setengah dari anak-anak dengan autisme.
Bocah tersebut juga mengalami fobia terhadap tekstur makanan tertentu, sehingga pola makannya sangat terbatas.
Gejala gangguan penglihatan mulai muncul pada awal 2024. Penglihatannya semakin memburuk setiap hari, terutama saat pagi dan sore hari ketika pandangannya mulai gelap, hanya dapat melihat lebih baik pada siang hari.
Dalam enam minggu, kondisi ini semakin parah hingga ia tidak bisa berjalan tanpa dituntun orang tuanya dan sering menabrak pintu serta dinding.
Suatu malam, ia terbangun dengan ketakutan karena kehilangan penglihatannya sepenuhnya.
Ia segera dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dokter menemukan bahwa pola makan anak ini tidak memenuhi kebutuhan nutrisi yang esensial bagi kesehatan saraf optik.
Kekurangan beberapa vitamin dan mineral, terutama vitamin A, yang sangat penting untuk kesehatan mata, menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai atrofi optik, yaitu kerusakan pada sel-sel saraf optik yang membuat penglihatan bocah tersebut semakin memburuk.
Dokter dari Boston Children’s Hospital menjelaskan bahwa anak ini kekurangan vitamin A, vitamin C, vitamin D, tembaga, dan seng secara parah, yang semuanya penting untuk menjaga kesehatan tubuh, terutama untuk fungsi mata. “Kekurangan vitamin A adalah salah satu penyebab umum kebutaan pada anak-anak di Amerika Serikat,” jelas dokter tersebut.
Para dokter mencatat bahwa anak-anak dengan autisme, seperti anak ini, memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan makan seperti ARFID karena sensitivitas sensorik mereka yang tinggi terhadap tekstur, bau, dan rasa makanan tertentu.
Selain itu, banyak anak autis cenderung memiliki rutinitas yang kaku, membuat mereka lebih memilih jenis makanan yang sama setiap hari.
Di rumah sakit, bocah ini diberi suplemen vitamin A, C, D, dan K, serta mineral seperti kalsium, tiamin, tembaga, dan seng.
Ketika tingkat nutrisi dalam tubuhnya kembali normal, keluarganya mulai memperkenalkan makanan yang lebih sehat, seperti selada dan keju pada burgernya, serta menambahkan suplemen ke kotak jusnya. Namun, ia masih kesulitan menerima perubahan ini dalam jangka panjang.
“Sayangnya, kasus atrofi optik yang dialami pasien sudah terlalu parah, sehingga penglihatannya tidak bisa pulih lagi.
Jika kekurangan nutrisi ini dapat terdeteksi lebih awal, suplemen dan vitamin yang tepat mungkin bisa membantu mempertahankan fungsi penglihatan anak,” ujar dokter dari Boston Children’s Hospital.
Kasus serupa juga pernah dilaporkan di Inggris, di mana seorang remaja perempuan mengalami masalah kesehatan akibat pola makan yang hanya terdiri dari roti lapis, kentang goreng, dan air.
Di Pennsylvania, seorang gadis berusia 12 tahun juga menderita kekurangan gizi karena kecemasan berlebihan terhadap makanan yang bisa menyebabkan muntah.
Kisah ini menjadi peringatan bahwa kebutuhan gizi seimbang sangat penting, terutama pada anak-anak dengan gangguan sensorik atau gangguan makan.
Kombinasi pola makan bergizi dan pendekatan terapi yang sesuai sangat diperlukan agar anak-anak dengan kebutuhan khusus mendapatkan asupan yang memadai untuk pertumbuhan dan kesehatan jangka panjang mereka.
Eksplorasi konten lain dari Reportasee.com™
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.